Kayu akasia dari spesis Senegalia Catechu, merupakan pohon berduri dan tumbuh setinggi 15 meter dari keluarga Leguminoseae. Nama lain tanaman ini disebut Khair, Khadira, kachu, kher, catechu, cachou, cutchtree, black cutch. Kayu Akasia banyak tumbuh di wilayah Asia, Cina, India dan wilayah Samudera Hindia. Akasia juga dikenal sebagai pohon duri, kayunya sangat penting dalam upacara pernikahan di beberapa negara bagian India. Upacara pengorbanan dan pembakaran Hindu menggunakan kayu Khadira karena menghasilkan bara api yang sangat panas.
Akasia merupakan genus semak-semak dan pohon dalam subfamili Mimosoideae dari familia Fabaceae. Tanaman ini pertama kali ditemukan di Afrika oleh Carl Linnaeus pada tahun 1773. Banyak spesies Akasia (non-Australia) yang berduri, sedangkan Akasia Australia tidak berduri. Nama akasia (akakia) diberikan oleh ahli botani Yunani (Pedanius Dioscorides) sekitar 40-90 Masehi. Tanaman ini disebut sebagai tanaman obat A. Nilotica dalam bukunya Materia Medica. Menurut sejarah, pohon Akasia paling terkenal di Asia dan di sepanjang sungai Nil.
Kayu Akasia Dalam Legenda Burung Pelatuk
Dalam tradisi disebutkan, kayu Khadira dianggap sakral oleh umat Hindu maupun Budha. Ada penyebutan tanaman di Bhagavata Purana dan teks-teks India kuno lainnya. Juga menyebutkan cerita Buddhis Jataka. Ketika Brahmadatta merupakan seorang raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai burung pelatuk. Sejak itu dirinya tinggal di hutan pohon akasia, dan dirinya disebut Khadiravaniya. Dia mempunyai seorang teman bernama Kandagulaka yang biasanya mendapatkan makanan dari buah yang lembut dan bagus.
Begitu Kandagalaka mengunjungi Khadiravaniya, mereka pergi ke hutan Akasia dan mematuk batang pohon sampai serangga keluar. Serangga ini diberikan kepada temannya untuk dimakan. Kundagalaka adalah seorang burung sombong dan berpikir bahwa dirinya bisa mendapatkan serangga untuk dimakan. Ketika dia mengatakan niatnya kepada temannya, Khadiravaniya berkata:
Kau biasa mengambil makananmu dari pohon sutera dan pepohonan yang menghasilkan buah lembut yang melimpah. Tapi kayu Khadira (akasia) penuh dengan empulur dan sangat sulit. Kau tidak usah mematuknya.
Tapi Kandagalaka tidak mengindahkan peringatan yang diberikan oleh temannya. Dia berusaha mematahkan kayu akasia yang sangat keras dengan paruhnya. Paruhnya mematuk kayu keras yang menyebabkan kepalanya terbelah, dia jatuh ke tanah dan mati.
Bodhisatt berkata; "Devadatta adalah Kandag-abka, dan Khadiravaniya adalah diriku sendiri. Ini bukan pertama kalinya Devadatta menghancurkan dirinya sendiri dengan cara meniruku". Menurut kisah, Devadatta adalah seorang Shakya dan koliya dan disebutkan telah menghasut 500 biksu lainnya untuk meninggalkan Buddha dan membentuk Sangha sendiri.
Manfaat kayu dan kulit pohon digunakan dalam pengobatan tradisional. Ekstrak kayu disebut Catechu digunakan dalam pengobatan tradisional untuk sakit tenggorokan dan diare. Ekstrak berair disebut sebagai Khayer gum mengandung zat astringen tinggi. Ekstrak ini digunakan dalam pengobatan Ayurveda untuk Rasayana (perawatan peremajaan). Juga digunakan untuk anti-dislipidemia, anthelmintik, anti-inflamasi, anti-diuretik, anti-pruritus. Zat pendingin, meningkatkan rasa, meningkatkan fungsi pencernaan dan menyembuhkan kelainan kulit.
Kayu akasia juga digunakan sebagai ranting pembersih gigi. Ekstrak kayu inti digunakan untuk pencelupan dan penyamakan kulit, sebagai pengawet jaring ikan, dan sebagai pengatur viskositas untuk pengeboran minyak. Masih banyak lagi manfaat kayu akasia yang telah lama digunakan sejak ribuan tahun lalu. Sehingga muncul sebuah mitos yang berasal dari India menceritakan tentang kayu Akasia atau disebut Khadira.
Referensi
- Plan Myths And Tradition in India, by Shakti M. Gupta, 1968
- Senegalia Catechu, image courtesy of Wikimedia Commons.
Kayu Akasia Dalam Legenda Burung Pelatuk Bodhisatta
Reviewed by Jamaluddin
on
9/28/2017
Rating:
No comments: